jinseibenkyou

Having a great life. Be a good human being and useful for others

Archive for the tag “Kristen”

Kota Suci 3 Agama


Saya selalu tertarik dengan artikel-artikel tentang yerusalem, karena kota ini selalu menjadi sumber pertikaian di muka bumi. Saya sering menarik nafas panjang, bisakah 3 keturunan Ibrahim ini hidup rukun berdampingan di kota ini seperti yang tercermin dalam pemerintahan Umar Bin Khatab. Berikut ini artikel lain tentang kota suci 3 agama.

==========================

YERUSALEM adalah rumah satu Tuhan, ibu kota dua bangsa, kuil tiga agama, dan ia satu-satunya kota yang eksis dua kali di langit dan bumi. Inilah kota universal.

Ibrahim (Abraham), Daud (David), Yesus (Isa), dan Muhammad diceritakan telah menginjakkan kaki di kota ini. Agama-agama Abrahamik dilahirkan di sana dan diyakini dunia juga akan berakhir di sana pada Hari Kiamat. Selama 1.000 tahun Yerusalem secara eksklusif dimiliki Yahudi,selama 400 tahun Kristen, selama 1.300 tahun Islam, dan tak satu pun dari ketiga agama itu pernah mendapatkan Yerusalem tanpa pedang, mangonel, atau howitzer.

Itu karena Yerusalem adalah Kota Suci. Sebuah sejarah Yerusalem harus menjadi sebuah studi tentang alam kesucian. Frasa “Kota Suci” secara konstan digunakan untuk menggambarkan pemujaan atas kesuciannya, tapi yang benarbenar berarti adalah bahwa Yerusalem telah menjadi tempat penting di bumi untuk komunikasi antara manusia dan Tuhan. Meski Yerusalem adalah Kota Suci.

Tapi, ia selalu menjadi sarang takhayul dan kefanatikan; dambaan dan rebutan aneka kekaisaran,walau tak punya nilai strategis; rumah kosmopolitan bagi banyak sekte, dan masing-masing masih yakin kota itu hanya milik mereka; sebuah kota dengan banyak nama dan tradisi, namun masing-masing tradisi begitu sektarian sehingga mereka menihilkan pihak lain.

Ia sebuah tempat yang begitu menggoda sehingga digambarkan dalam literatur sakral Yahudi dengan ciri-ciri feminin: ia seorang perempuan hidup yang selalu sensual,cantik,tapi kadang-kadang seorang pelacur atau seorang putri yang terluka ditinggal sang kekasih. Dari semua tempat di dunia, mengapa Yerusalem? Tempat itu terpencil dari rute-rute perdagangan pesisir Mediterania; kekurangan air, terpanggang oleh matahari musim panas, menggigil oleh musim dingin, batu-batunya melepuh dan tidak nyaman dihuni.

Tapi, pemilihan Yerusalem sebagai Kota Suci karena ia telah menjadi suci begitu lama. Kesucian mengharuskan tidak hanya spiritualitas dan agama, tapi juga legitimasi dan tradisi. Seorang nabi yang membawa visi baru harus menjelaskan abadabad yang telah berlalu, sebelum dia menjustifikasi wahyunya sendiri dalam bahasa kesucian yang bisa diterima kerasulan dari wahyu-wahyu sebelumnya dan di tempat yang telah lama dipuja.

Tak ada sesuatu yang bisa membuat sebuah tempat lebih suci ketimbang kompetisi dengan agama lain. Karena Kota Suci, pertarungan pun tiada henti–– pembantaian, kezaliman, perang, terorisme,pengepungan, dan malapetaka telah menjadikan Yerusalem ajang peperangan, yang dalam kata-kata Aldous Huxley sebagai “rumah jagal agama-agama”, dalam ungkapan Flaubert sebagai “rumah kuburan”, dalam bahasa Melville sebagai “tengkorang yang dikepung oleh angkatan perang mati”, dan Edward Said mengenang ayahnya yang membenci Yerusalem karena ia “mengingatkannya kepada kematian”.

Sebagai Kota Suci, Yerusalem membutuhkan seorang penulis yang mampu mengisahkan seperti Simon Sebag Montefiore. Sejarawan terkemuka asal Inggris yang karyakaryanya laris di dunia ini menceritakan kisah Yerusalem secara kronologis, melalui cerita perang, cinta, dan pewahyuan, yang melibatkan kehidupan laki-laki dan perempuan: nabi, orang suci, raja, ratu, tentara, penakluk, penyair, petani,musisi, dan bahkan pelacur–– sosok-sosok yang menciptakan, menghancurkan, mencatat, dan memercayai keyakinan masing-masing di Yerusalem.

Di dalam buku ini disajikan beragam karakter tokoh-tokoh berpengaruh dalam sejarah dunia: dari Daud sampai Yesus dan Muhammad; dari Sulaiman al-Qanuni dan Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin) hingga Cleopatra, Caligula, dan Churchill; dari Izebel, Nebukadnezar, Herod, dan Nero di zaman kuno hingga Kaiser, Disraeli, Mark Twain, Rasputin, dan Lawrence dari Arabia di masa modern.

Dan dari kelahiran Yudaisme, Kristen, dan Islam hingga konflik Palestina- Israel. Inilah epos sejarah 3.000 tahun ihwal kesucian,keimanan, fanatisme, identitas, nasionalisme, pembantaian, dan koeksistensi. Menurut Simon, kronologis adalah cara terbaik untuk membawa Kota Suci itu ke kehidupan dan menunjukkan betapa kebenaran-kebenarannya yang rumit dan tak terduga adalah hasil dari perjalanan sejarahnya, yang dimulai dari 5000 SM sampai sekarang, meski dia mengakhiri penulisan buku ini pada 1967, karena Perang Enam Harilah yang pada dasarnya menciptakan situasi hari ini dan memberikan sebuah titik yang menentukan.

Simon yakin, hanya dengan narasi kronologis seseorang dapat menghindari anganangan untuk melihat masa lalu dengan obsesi masa kini. Dalam menulis buku masterpiece ini, Simon berhasil mempertahankan ketidakberpihakan.

“ Tujuan saya di sini,” kata Simon “menulis sejarah Yerusalem dalam pengertian yang paling luas untuk pembaca umum, apakah mereka atheis, beriman, Kristen, Muslim, atau Yahudi, tanpa satu agenda politis, bahkan dalam pertikaian masa kini.” Hendri F Isnaeni Penulis sejarah di majalah Historia Online.

Jerussalem, Dulu dan Kini


Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

JIKA barometer toleransi abad 20 ini dideteksi di setiap penjuru dunia, maka Jerussalem mungkin adalah yang terburuk.

Pada akhir tahun 1987 saya sempat berkunjung ke kota Jerussalem lama. Kota kuno di atas bukit yang dikelilingi tembok raksasa itu menyimpan tempat suci utama tiga agama. Ketiganya adalah Masjid al-Aqsa,Wailing Wall (Dinding Ratapan) dan Gereja Holy Sepulchre (Kanisat al-Qiyamah). Di zaman modern tempat ini adalah daerah konflik yang paling menegangkan di dunia.

Ketika menapaki jalan-jalan di kota tua itu banyak perisiwa menegangkan. Saya menyaksikan seorang pendeta Katholik dan seorang rabbi Yahudi saling memaki dan sumpah serapah, nyaris saling bunuh.

Di lorong-lorong pasar saya melihat ceceran darah segar Yahudi dan Palestina. Di pintu masuk dinding ratapan saya bertemu seorang Yahudi Canada. Dengan pongah dan percaya diri dia teriak, “I come here to kill Muslims”. Di pintu gerbang masjid Aqsa, seorang tentara Palestina menangis selamatkan masjid al-Aqsa! Selamatkan masjid al-Aqsa!

Namun jika deteksi toleransi itu dialihkan abad ke 7 dan seterusnya mungkin Jerussalem justru yang terbaik. Setidaknya sejak Muslim memimpin dan melindungi kota ini. Jika kita menelurusi lorong via dolorosa menuju Gereja Holy Sepulchre orang akan tersentak dengan bangunan masjid Umar. Masjid Umar itu terletak persis didepan gereja yang diyakini sebagai makam Jesus. Di situ semua sekte berhak melakukan kebaktian. Melihat lay-out dua bangunan tua ini orang akan segera berkhayal “ini pasti lambang konflik dimasa lalu”. Tapi khayalan itu ternyata salah. Fakta sejarah membuktikan masjid itu justru simbol toleransi.

Sejarahnya, umat Islam dibawah pimpinan Umar ibn Khattab mengambil alih kekuasaan Jerussalem dari penguasa Byzantium pada bulan Februari 638. Mungkin karena terkenal wibawa dan watak kerasnya Umar memasuki kota itu tanpa peperangan. Begitu Umar datang, Patriarch Sophronius, penguasa Jerussalem saat itu, segera “menyerahkan kunci” kota.

Syahdan diceritakan ketika Umar bersama Sophronius menginspeksi gereja tua itu ia ditawari shalat di dalam gereja. Tapi ia menolak dan berkata: “jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka, hanya karena saya pernah shalat disitu”.

Umar kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Ditempat batu itu jatuh ia kemudian melakukan shalat. Umar kemudian menjamin bahwa Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil atau dirusak pengikutnya, sampai kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. Itulah toleransi Umar.

Toleransi ini kemudian diabadikan Umar dalam bentuk Piagam Perdamaian. Piagam yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah itu mirip dengan piagam Madinah. Dibawah kepemimpinan Umar non-Muslim dilindungi dan diatur hak serta kewajiban mereka.

Piagam itu di antaranya berisi sbb: Umar amir al-mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama.  Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas. Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus membayar pajak (jizya) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya.

Sebagai ganti perlindungan terhadap diri, anak cucu, harta kekayaan, dan pengikutnya Sophorinus juga menyatakan jaminannya. “kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru dikota dan pinggiran kota kami;..Kami juga akan menerima musafir Muslim kerumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam… kami tidak akan menggunakan ucapan selamat yang digunakan Muslim; kami tidak akan menjual minuman keras; kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau di pasar-pasar milik umat Islam”.  (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar b. al-Khattab Trans. Yohanan Fiedmann, Albany, 1992, p. 191)

Bukan hanya itu. Salah satu poin dalam Piagam itu melarang Yahudi masuk ke wilayah Jerussalem. Ini atas usulan Sophorinus. Namun Umar meminta ini dihapus dan  Sophorinus pun setuju. Umar lalu mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di Jerussalam dan mendirikan synagogue. Konon Umar bahkan mengajak Sophorinus membersihkan synagog yang penuh dengan sampah. Itulah toleransi Umar.

Piagam Umar ternyata terus dilaksanakan dari sau khalifah ke khalifah lainnya. Umat Islam tetap menjadi juru damai antara Yahudi  dan Kristen serta antara sekte-sekte dalam Kristen. Ceritanya, karena sering terjadi perselisihan antar sekte di gereja Holy Sepulchre tentara Islam diminta berjaga-jaga di dalam gereja. Sama seperti Umar, para tentara juru damai itu pun ditawari shalat dalam gereja dan juga menolak. Untuk praktisnya mereka shalat dimana Umar dulu shalat.

Di tempat itulah kemudian Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1193, membangun masjid permanen. Jadi masjid Umar inilah saksi toleransi Islam di Jerussalem.

Namun, kini Jerussalem yang damai tinggal cerita lama. Belum ada jalan kembali menjadi kota toleransi. Lebih-lebih makna toleransi seperti dulu sudah mati oleh liberalisasi. Umar maupun Sophorinus tidak mungkin akan dinobatkan menjadi “Bapak pluralisme”. Sebab menghormati agama orang lain kini tidak memenuhi syarat toleransi. Toleransi kini ditambah maknanya menjadi menghormati dan mengimani kebenaran agama lain. Tapi “ini salah” kata Muhammad Lagenhausen. Kenneth R. Samples, pun sama “Ini penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen”. Biang keladinya adalah humanis sekuler yang ateis dan paham pluralisme agama (The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal). Bagi saya toleransi model pluralisme ini adalah utopia keberagamaan liberal yang paling utopis.*

Penulis adalah Direktur Program PKU ISID

Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar

sumber: http://hidayatullah.com/read/20181/12/12/2011/toleransi-umar.html#.TvB1eZZ6z9U.wordpress

 

Post Navigation